Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dengan label cerpen

Suara Sumbang

  Suara Sumbang       Ibu Dita membisu beku, bahkan matanya hanya sesekali berkedip, pertemuan yang tak terduga membuahkan hasil mengejutkan. Sesekali Ibu Dita hanya melirik ke arahku, seperti mengamati apakah aku akan sedih, atau malah bahagia? Tapi pertemuan ini menjadikanku mempelajari sesuatu, bahkan seorang Ibu pun bisa juga salah. Tidak ada yang sempurna. Dua belas tahun lalu pertemuan kami, aku adalah seorang aparatur negara yang tidak mempunyai kedudukan apa-apa. Hanya seorang pegawai kelas umbi-umbian,’rendahan’ kalau kata orang-orang. Apalagi dengan penempatanku di tempat yang tidak strategis, alias non teknis. Cuma mengurusi surat-menyurat, segala remeh temeh hal yang sama sekali tidak penting, mungkin kalau dikonversikan ke dalam sistem kasta, aku adalah rakyat jelata. Ibu Dita adalah atasanku, pejabat eselon III yang terkenal karena ramah dan kebaikannya pada siapa saja. Sering tegur sapa dengan cleaning service, PKD bahkan aku yang hanya...

True Love

Ada kenangan yang terlintas ketika mata kami saling terpaut. 10 detik hanya waktu sebentar, tapi 10 tahun adalah waktu yang lama. 1 dekade kebersamaan dan 10 detik waktu yang tersisa untuk perpisahan ini. aku hanya sekali berkedip padanya, mengangguk meyakinkan bahwa kita pasti bisa, walau aku tahu itu hanya menipu hatiku. Berusaha meyakinkan pikiranku bahwa semua ini memang takdir yang harus dilalui. 10 tahun lalu, aku masih anak ABG yang masih belum mengenal apa itu cinta sejati, masih duduk di bangku kelas 2 SMU, duduk bersebelahan dengannya. Masih ingat ketika aku baru memulai hari pertama di sekolah, dia adalah anak baru di sekolah kami, baru pindah dari luar kota. Masih kuingat hangat tangannya ketika tangan kami berjabat sebagai pertanda perkenalan pertama. “Hai..” sapanya “Namaku Nadine..” tambahnya. Nadine, seperti namanya yang cantik, wajahnya pun cantik. Giginya berbaris rapi, tak mengenakan kawat gigi sepertiku. Kulit wajahnya bersih tanpa nod...

Menjadi Agen Bea Cukai Yang Baik

Siang makin memanas, begitu pun obrolan kami saat itu. Tak ada yang istimewa, hanya dua cangkir berisi kopi yang hampir habis, dan asbak penuh abu dan puntung rokok. Sebut saja namanya Bisot, dia adalah kawan saya yang paling baik di kantor. Ya bukan berlebihan, tapi dia adalah sosok kakak, senior, dan pejabat yang memberi masukan teramat istimewa untuk junior seperti saya. Saya dan Bisot, adalah pegawai dan pejabat di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, kami sama-sama dari penerimaan umum, bukan dari sekolah istimewa STAN. Yang membedakan Bisot dan saya adalah, saya dari penerimaan umum D1 sementara dia dari penerimaan sarjana yang membuatnya cepat naik jabatan menjadi pejabat Eselon IV. Saat itu Bisot menjabat kepala kantor di salah satu kantor pelayanan yang dekat dengan perbatasan timur Indonesia. “Deb, nggak ada yang keren di sana.. Hanya ada kelompok penjaga perbatasan dengan pegawai kurang dari dua puluh orang dan semangat kerjanya redup terang.. ” Bisot berusaha...

SADAR

Aku melirik jam dinding, rasa kantuk masih menyelimuti mataku. Huuft, baru jam 22.00. Tapi jam segini sudah terbangun. Rasanya harus memulai lagi rutinitas sepi. Entah mengapa beberapa waktu ini hidupku berubah, aku tak ingat mengapa aku yang tak pernah tidur lebih dari jam 09 malam kini menjadi berubah menjadi seperti orang yang mengalami insomnia. Sekarang aku selalu terbangun pukul 22.00. Dan mataku terjaga hingga pukul 04.00 pagi. Lalu, aku tertidur kembali hingga malam harinya dan terbangun lagi pukul 22.00. Karena perubahan waktu itu, aku jadi tak lagi menjadi orang normal. Setiap hari seperti itu, tak lagi menjalani rutinitasku seperti sebelumnya. Kuliah dan menghabiskan jatah bulanan ayah di rumah yang diwariskannya untukku di kota Bandung ini. Rumah tampak sepi, bi Inah sudah pergi pastinya. Dia selalu pergi sebelum aku terbangun, dia menyiapkan segelas susu, kue dan bunga sedap malam yang kusukai. Aku bangkit dari tempat tidurku, menjejakkan kaki dan melangkah ke dapur,...

Divorce

Ada keanehan saat mataku bertemu dengan matanya. Satu titik berkilau menetes dari sudut matanya. Air mata. Laki-laki ini kukenal adalah seorang yang kuat, tangguh dan pantang menangis. Tak pernah setetes air mata yang ku lihat setelah sepuluh tahun bersaman dengannya. Tak ada sedikit pun. Pernah saat aku menangis saat menonton film romantis, saat membaca novel sedih, saat anjing kesayanganku mati, saat kami memutuskan pindah rumah, jauh dari tanah kelahiran kami berdua. Saat-saat itu aku menangis, tapi dia tidak. Aku sempat berpikir, bahwa dia memang dilahirkan untuk tak memproduksi air mata, semacam kelainan dari lahir. Aku pernah bertanya padanya, apakah seumur hidupnya pernah menangis? Saat dia merasa sakit atau sedih, pernahkah dia menangis? Dia menjawab tidak. Dia bilang bahkan ibunya pernah bercerita, bahwa saat dia masih bayi, dia menangis sangat jarang, dan dia memang orang yang pendiam. Aku langsung menilai, bahwa laki-laki ini adalah manusia super seperti Sup...